Jika saya boleh jujur, sejak kecil saya sering kepikiran untuk operasi kelamin saya menjadi gonad laki-laki. Alasannya? Bukan karena saya merasa saya lebih cocok sebagai laki-laki, bukan. Alasannya karena saya muak dengan bentuk diskriminasi yang saya terima dari kecil. Meskipun bentuk diskiriminasi yang terjadi terhadap saya dan wanita lainnya bisa dibilang “kecil”, tapi tidak ada luka yang tidak sakit, bukan? Semua luka menghasilkan adalah luka. Begitu pula dengan diskiriminasi. Sekecil apapun bentuknya, tetap saja disebut dengan diskriminasi. Sebagai contoh, saya adalah anak pertama dari dua bersaudara dan kami berdua perempuan. My parents are expecting a baby boy, and I often hear them discuss about it. Even though they don’t say it out loud, I know they’re disappointed because they don’t have a son. And I actually don’t like the idea of having a brother. You see, the Batak culture is based on patriarchy. Jadi kalau a household tidak punya anak laki-laki, “kesannya” rumah tersebut tidak punya anak. Well, menurut saya sih begitu. Pathetic, right? Tapi masalahnya ini udah menyangkut budaya yang sejak dulu sudah ada, jadi tidak mungkin bisa diubah. Yang bisa diubah hanyalah manusianya. That’s why saya ingin operasi kelamin. Saya juga sudah sering ngomong ke orang tua saya, bahwa saya akan sukses dan mereka tidak butuh anak laki-laki. Meskipun mereka mengangguk dan tersenyum, saya tahu they just brushed it off, because dalam budaya patriarchy versi orang Batak (especially yang di kampung), wanita hanya bekerja di dapur, memasak dan mencuci. Bahkan ayah saya pernah secara terang-terangan mengatakan hal itu. Waktu saya liburan ke Medan, saya melihat seorang wanita sedang berjalan dari sawah ke rumahnya dengan membawa tiga bakul berisi padi. Satu di tangan kanan, satu di tangan kiri, dan satu di kepala. Lalu saat saya tanyakan ke ayah saya, dan Ia menjawab, “Oh memang seharusnya perempuan yang melakukan segalanya, karena posisi mereka dibawah laki-laki. Biasanya di kampung-kampung, laki-laki bangun siang, merokok, dan minum kopi. Intinya mereka hanya bersantai lah.” Saya tersentak, dan berpikir laki-laki itu ternyata gak guna ya? Busuk. Sampah. Kasus lain, wanita tidak boleh mempunyai pendapat yang radikal, tidak boleh memakai baju apapun yang mereka suka and wear what they’re comfortable in, dan tidak boleh mencintai dirinya sendiri. Meskipun tidak secara langsung diucapkan, tapi memang itu kenyataannya karena jika mereka adalah antonim dari hal-hal diatas, mereka akan dimarahi/diceramahi/dicemooh oleh orang lain karena “wanita tidak pantas”. Sebagai contoh, wanita diajarkan untuk tidak memakai celana/rok pendek dan baju V-neck/tank top agar “tidak menarik perhatian”, tapi laki-laki tidak pernah diajarkan untuk tidak menggoda wanita dan untuk menahan nafsu berahi yang mereka miliki, as if they can’t control their own goddamn penis. Kenapa mereka tidak masturbasi saja, atau menyewa prostitute? That way, no one would be raped, dan hubungannya akan menjadi simbiosis mutualisme. Yang kedua, jika seorang wanita di-compliment tentang how she looks, mayoritas akan menjawab: “Apaan sih aku jelek, kamu tuh cantik!” dan bukan mengakui bahwa Ia memang cantik. Kenapa kita tidak bisa confident? Karena, memang itu budayanya. Sejak dahulu, wanita telah terbiasa menjadi rendah hati. Tapi saya ingin bertanya, rendah hati atau rendah diri? Yang terakhir. Jika seorang wanita mempunyai sebuah pendapat, people will tell her she’s being “bossy”, instead of being “helpful”. Sekarang beri tahu saya kalau wanita tidak didiskriminasi, hm? Secara personal, saya sering mengalami peristiwa digoda pria di jalan dengan siulan, kata-kata tidak senonoh, and I FUCKING HATE IT. Coba, manusia mana sih yang suka digoda dan diperlakukan dengan tidak pantas, tidak sebagai manusia? Dasar binatang. Pasalnya, mereka menggoda dalam semua peristiwa. Even though saya pake baju biasa YANG GAK SHOW A LITTLE HINT OF SKIN SAMA SEKALI juga tetap saja. Biasanya saya merespon dengan melotot atau memberikan jari tengah saya, lalu berlari ke arah lain agar tidak dibunuh. Padahal saya belajar taekwondo, huh. Seharusnya saya tidak takut. Tapi mau gimana lagi, faktanya secara fisik laki-laki memang lebih besar dan kuat. Tapi bukan berarti wanita tidak kuat lho. Kita hanya terbiasa di intimidasi oleh masyarakat saja. So yeah, that’s it. Cuma mau complaint tentang this unfair world. Padahal katanya Tuhan mencintai umatnya, kenapa satu harus lebih tinggi dari yang lain? Apa alasannya? Takdir? Harkat? Thanks, but I'm not taking this bullshit.
0 Comments
Leave a Reply. |
Prologuenot much goes on inside my head anymore. In my house of sadness, may I invite you in?
my people.Categoriespain is inevitable. suffering, is optional. Archives
November 2017
CHECK OUT MY TEAM'S PERFORMANCE BELOW!
|